Problematika Mekanisme Impeachment (Tulisan Jaman Dulu)




Perhatian  publik  di  Indonesia  telah  disita  oleh  drama  skandal  bank  century  beberapa  minggu  ini.  Dari  mulai  drama  yang  dilakukan  Panitia  Khusus  (Pansus)  ketika  ingin  mengusut  tuntas  century  hingga  ke  rapat  paripurna  DPR  yang  sempat  membuat  kita  tercengang  dengan  adanya  aksi  yang  tidak  terpuji  yang  dilakukan  oleh  beberapa  anggota  dewan  kepada  pemimpin  sidang  Marzuki Ali.
Dengan  berakhirnya  voting  yang  dilakukan  oleh  para anggota  DPR  dari  berbagai  fraksi  maka  muncullah  pemenang  yang  memilih  opsi  C,  yakni  mereka  yang  menilai  bahwa  kebijakan  pemberian  FPJP  dan  PMS  kepada  Bank  Century  serta  pelaksanaannya  bermasalah.  Maka  dari  itu  rapat  Paripurna  DPR  memutuskan  bahwa  bailout  Bank  Century  bermasalah  dan  ada  penyimpangan.  Untuk  itu,  masalah  bailout  Bank  Century  ini  akan  diserahkan  pada  proses  hukum.(KR 4/3)

Selain  itu  tuntutan  dari  berbagai  elemen  masyarakat  anti-SBY  menginginkan  SBY-Boediono untuk  non-aktif  dan  mundur  dari  tampuk  kepresidenan.  Mereka  menilai  SBY-Boedionolah  yang  harus  bertanggung  jawab  terhadap  skandal  Century  ini.
Disamping  itu, isu  impeachmentpun semakin  panas digembor-gemborkan  dikalangan  politisi  dan anggota  dewan.  Sedang  menurut  Ketua  Mahkamah  Konstitusi  (MK)  Mahfud MD  mengatakan  bahwa  ia  belum  melihat  tanda-tanda  akan  mengarah  ke  pemakzulan  atau  impeachment .  Ada langkah  politik  yang  cukup  kompleks  yang  harus  dilakukan  untuk  proses  pemakzulan.

Dalam  UUD 1945  pasal  7B,  dikatakan  bahwa  jika  DPR  ingin  mengajukan  pemberhentian  presiden  atau  wakil  presiden  kepada  Mahkamah  Konstitusi  harus  terdapat  dukungan  sekurang-kurangnya  2/3  dari  jumlah anggota  DPR.  Dengan  kata  lain  harus  mendapat  dukungan  suara  sekitar  358  untuk  dapat  meneruskan  ke  Mahkamah  Konstitusi.  Tetapi  dalam  kenyataannya  suara  yang  menyatakan  bahwa  terjadi  penyimpangan  dalam  proses  pengambilan  kebijakan  oleh  otoritas  moneter  hanya  325  suara.  Jadi  ketika  dukungan  itu  kurang,  maka  pengajuan  pemberhentian  presiden dan  wakil  presiden  itu  secara  politik  tidak  bisa  diteruskan  kepada  Mahkamah  Konstitusi (MK)  untuk  mendapatkan  putusan  hukum.

Dalam  bukunya  Iwan  Satriawan  menjelaskan,  apabila  yang  terjadi  setelah  diajukannya  oleh  DPR  ke  MPR  tentang  usulan  pemberhentian  presiden  dan wakil  presiden,  dan  MPR  ternyata  tidak  memutuskan  bersalah  seperti  putusan  MK,  maka  dapat  dilihat  bahwa  terdapat  perbedaan  putusan  hukum  yang  dibuat  oleh  MK  dengan  putusan  politik  yang  dibuat  oleh  MPR. Ini semua  adalah  konsekuensi dari  menggabungkan  proses  politik dan  hukum  dalam  mekanisme  impeachment  presiden  dan  wakil  presiden  yang  ada  di  Indonesia.  Maka  dari  itu  perlu  adanya  klausula  yang  secara  definitif  mencegah  terjadinya  ketidakpastian  hukum  di  kemudian  hari.

Yogyakarta, 8 Maret 2010.

0 komentar: