Diskusi Panel Sekolah Ramah Anak PW IPM DIY



           

             Sekolah merupakan sebuah tempat pendidikan formal yang ditujukan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini sejalan dengan pembukaan  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945  yang mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
                Mengingat pentingnya peran sekolah dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa bagi seluruh rakyat Indonesia, Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta berinisiatif untuk menyelenggarakan Diskusi Panel pada 4 Oktober 2013 dengan membawakan sebuah tema “Sekolah Ramah Anak”. Dalam diskusi ini, PW IPM DIY menghadirkan dua orang panelis yang terdiri dari Ibu Dra. Latifah Iskandar (Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dan Bapak Fathur Rahman, M.Si. (Majelis Dikdasmen PWM DIY) yang juga dihadiri oleh sekolah-sekolah Muhammadiyah baik tingkat SMP/MTS dan SMA/MA/SMK se Daerah Istimewa Yogyakarta.
                Dalam diskusi panel yang dilaksanakan ini, dikemukakan bahwa sekolah yang baik merupakan sekolah yang ramah anak. Dimana sekolah harus menempatkan siswa atau pelajar sebagai subjek dari suatu sistem pendidikan, bukan lagi sebagai objek dari suatu sistem. Sehingga pada akhirnya sekolah dapat mendidik dan melindungi anak Indonesia untuk mencapai tujuan pendidikan nasional sesuai dengan UUD 1945 dan juga UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
                Secara prinsip, berkenaan dengan Pasal 4 ayat 1 UU No. 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Konsep sekolah ramah anak yang akan diusung mempunyai 4 prinsip dasar yang terdiri dari:
1.       Sekolah tanpa kekerasan
2.       Sekolah tanpa diskriminasi
3.       Kepentingan terbaik bagi anak dan hak untuk tumbuh dan berkembang
4.       Penghargaan terhadap pendapat anak
Sekolah Tanpa Kekerasan
                Sekolah tanpa kekerasan dapat  diterjemahkan bahwa, dalam setiap proses belajar mengajar di sekolah peserta didik harus terbebas dari segala bentuk kekerasan, baik kekerasan fisik maupun simbolik. Hal ini didasarkan pada penemuan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) bahwa pada tahun 2012, di 9 provinsi di Indonesia (Jawa Timur, Jambi, Kalimantan Timur, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Jawa Barat dan Banten) menunjukkan 87.6% anak Indonesia mengalami kekerasan fisik maupun psikis di sekolah, mulai dijewer, dipukul, dibentak, dihina, diberi stigma negatif, hingga dilukai benda tajam baik oleh gurunya maupun temannya sendiri. Ketika di dalam suatu dunia pendidikan, masih terdapat bentuk kekerasan maka sesungguhnya itu bukanlah bentuk pendidikan yang beradab. Karena pada hakikatnya, dunia pendidikan adalah dunia ilmu, tempatnya transfer of knowledge and values, sehingga segala bentuk kekerasan harus dihapuskan.
Dalam dunia pendidikan di Indonesia, masih banyak guru yang menyisipkan bentuk kekerasan dalam proses belajar mengajar. Seperti dalam artikelnya, Bapak Fathur Rahman, M.Si. menjelaskan bahwa kesalahan metode inilah yang akan menghasilkan pelajar-pelajar yang tidak betul-betul memiliki kejernihan konsep nilai. Dengan demikian pula, anak dan remaja yang tidak memiliki konsepsi nilai yang jernih selamanya tidak akan pernah menjadi pribadi yang mandiri, kreatif, memiliki daya nalar, memiliki etos intelektual dan moral, dan tidak memiliki kecakapan-kecakapan psikologis untuk melalui perjalanan hidup. Dengan kata lain, tipikal kepribadian semacam ini tak lebih adalah tipe individu yang belum bisa atau bahkan tak pernah bisa mengasah, mengelola, dan mengembangkan potensi dirinya.

Sekolah Tanpa Diskriminasi
                Kerap kali kita masih menemukan adanya perbedaan perlakuan terhadap pelajar di suatu sekolah yang dilatarbelakangi baik oleh keadaan ekonomi, sosial, agama. Perbedaan perlakuan ini justru sebenarnya telah mencederai hak fundamental seorang manusia yang dalam hal ini adalah pelajar, untuk mendapatkan persamaan perlakuan dimanapun ia berada. Semakin seorang siswa mendapatkan perlakuan diskriminatif, maka hal tersebut akan menjadi common sense pelajar Indonesia untuk senantiasa melakukan perbuatan diskriminatif di lingkungannya.
                Terlebih ketika hal ini menjadi sebuah common sense, maka penindasan ini tidak akan lagi dirasakan sebagai bentuk penindasan, tetapi sebagai sesuatu yang secara normal perlu dilakukan. Artinya, penindasan tersebut telah mendapatkan persetujuan dari pihak yang ditindas itu sendiri. Hal ini dapat dikatagorikan sebagai bentuk kekerasan simbolik di dunia pendidikan kita.  Sungguh sangat mengkhawatirkan apabila ini terus terjadi atau bahkan dilakukan pembiaran terhadap suatu hal yang bersifat buruk.
                Maka dari itu, sekolah tanpa diskriminasi merupakan konsep mulia yang harus diterapkan dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan Muhammadiyah yang lebih mengedepankan penanaman nilai moral terhadap peserta didiknya.

Kepentingan Terbaik Bagi Anak dan Hak untuk Tumbuh dan Berkembang
                Dilatarbelakangi oleh masyarakat Indonesia yang beragam, baik secara agama, ras dan suku. Dunia pendidikan sudah seharusnya dapat mewadahi keberagaman itu semua. Sehingga sekolah harus mampu untuk memberikan pilihan terhadap peserta didik untuk mengembangkan potensi dan bakat yang dimilikinya. Sekolah tidak boleh mengekang hak tumbuh dan berkembang peserta didik, karena setiap manusia mempunyai bakat dan kemampuannya masing-masing. Dalam tataran implementasi dapat dicontohkan, sekolah memberikan kesempatan untuk peserta didiknya agar memilih pelajaran yang ia sukai sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Tidak perlu adanya penyamarataan (seperti dalam Ujian Nasional) yang mengharuskan semua siswa untuk dapat menguasai semua mata pelajaran yang diberikan oleh pihak sekolah. Sekali lagi, hal ini didasarkan karena potensi dan kemampuan setiap peserta didik itu berbeda-beda, dan hal ini pulalah yang kemudian dijadikan salah satu alasan Ikatan Pelajar Muhammadiyah untuk meniadakan Ujian Nasional sebagai tolak ukur kelulusan siswa yang diselenggarakan oleh pemerintah.
                Ketika peserta didik mempelajari pelajaran hanya yang ia sukai sesuai dengan kemampuannya, maka itu dapat menjadikannya seorang ahli dalam bidang tersebut. Untuk lebih sederhananya, kita dapat melihat bahwa untuk menjadi seorang ahli kimia tidaklah perlu diajarkan tentang pelajaran yang tidak ada kaitannya dengan kimia, atau untuk menjadi seorang ahli bahasa tidaklah perlu diajarkan tentang hal yang diluar dari pelajaran bahasa. Hal yang demikian akan membuat seorang anak menjadi fokus dan senang untuk mempelajarinya.

Penghargaan Terhadap Pendapat Anak
“Saya itu guru, kamu itu murid!!”.
                Pernahkah kita mendengar ungkapan seperti itu? Sekilas, kalimat diatas tidak mempunyai dampak apa-apa terhadap peserta didik, karena kalimat tersebut merupakan sebuah penekanan yang mencerminkan bahwa seorang murid harus patuh terhadap gurunya sendiri. Akan tetapi apabila ditelusuri kembali, kalimat seperti ini memberikan penekanan juga bahwa seorang guru merupakan orang yang mempunyai dominasi lebih dalam proses belajar mengajar, dan menganggap bahwa seorang murid tidak cukup lebih tahu dari seorang guru. Sehingga terdapat gap antara guru dan murid.
                Dengan seringkali adanya ungkapan tersebut dari seorang guru, peserta didik akan menjadi terpasung kebebasannya, bahkan untuk memberikan pendapat saja tidak bisa. Semuanya telah diatur dan murid hanya tinggal menurut saja. Murid disini hanya dipandang sebagai objek dari suatu sistem pendidikan, bukan sebagai subjek. Hal ini yang menjadikan salah satu sebab pelajar-pelajar Indonesia tidak dapat berfikir kreativ dan kritis, karena guru mempunyai dominasi yang lebih besar terhadap yang lainnya.
                Sebagai contoh kecil lainnya, jarang sekali kita menemukan adanya pengikutsertaan peserta didik dalam proses pembuatan peraturan sekolah. Padahal ketika peraturan itu diterapkan, maka pihak yang akan merasakan secara langsung adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik dianggap tidak tahu apa-apa dan hanya dapat melaksanakan apa yang sudah ditetapkan oleh pihak sekolah. Sehingga terkadang berdampak pada seringnya peserta didik untuk melanggar peraturan sekolah.
                Dari keempat prinsip dasar diatas, dapat disimpulkan bahwa Sekolah Ramah Anak ialah sekolah yang secara minimal telah memenuhi 4 standar prinsip tersebut. Maka, mulai saat ini Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta akan mengupayakan terealisasinya 4 prinsip dasar Sekolah Ramah Anak di lingkungan sekolah Muhammadiyah demi terwujudnya sekolah yang nyaman dan kondusif untuk kepentingan seluruh Pelajar Indonesia..

Salam Pelajar Berkemajuan!!!

0 komentar: