Antara Manusia, Ghibah dan Fitnah










Pernah ku berfikir, hewan yang tidak mempunyai akal senantiasa dapat memberikan “pelajaran hidup” terhadap manusia tanpa mereka sadari. Sebut saja semut, mereka mengajarkan bagaimana seharusnya hidup berkoloni dalam suatu tatanan masyarakat, menyepakati untuk mencari musuh bersama ketimbang saling bermusuhan satu sama lainnya. Atau lihatlah harimau sang raja hutan, meskipun ditakuti seantero hutan, ia tetap lembut dan menyayangi anaknya. Lalu bagaimana dengan manusia?, manusia yang mempunyai akal terkadang mengedepankan nafsu hewaninya ketimbang akalnya sendiri. Lalu, apakah manusia yang kerapkali berlaku hewani dikarenakan mempunyai akal? Dan hewan berlaku “seharusnya” manusia karena justru tidak mempunyai akal? Ah,, sudahlah, hal ini tidak usah terlalu difikirkan terlalu jauh, mungkin karena memang aku saja yang terlalu tidak faham apa itu manusia. Oh, siapakah aku sesungguhnya yang berfikir tentang manusia?.

Dulu, aku meyakini dan setuju bahwa manusia memang makhluk omnivora, makhluk yang memakan apa saja, baik daging maupun tumbuh-tumbuhan. Kini, aku semakin sadar bahwa ternyata itu adalah benar!!. Bahkan manusia sudah tidak lagi memakan hewan ataupun tumbuhan, karena seiring perkembangannya manusia yang dianggap sudah beradab itu kini sudah tidak malu dan jijik lagi untuk memakan bangkai saudaranya sendiri. Sungguh ironi sekali untuk makhluk yang dikaruniai akal fikiran ini.

Setiap manusia pasti tidak suka makan daging manusia, maka bagaimana lagi kalau daging saudaranya? Terlebih bagaimana bila daging tersebut sudah menjadi bangkai? Diamini ataupun tidak, fenomena ini kerap sekali terjadi di sekitarku. Meskipun pemaknaan memakan daging manusia disini tidak diartikan secara harfiah, akan tetapi kurang lebih al-Qur’an telah memberikan perumpaan seperti itu, sehingga dapat disimpulkan bahwa seorang muslim yang mengumpat/menggunjing (Ghibah) muslim lainnya, sesungguhnya ia telah memakan daging bangkai saudaranya tersebut. “Dan janganlah kamu mengumpat sebagiannya: apakah salah seorang diantara kamu suka makan daging bangkai saudaranya padahal mereka tidak menyukainya? (al-hujurat:12). Begitu al-Qur’an memberikan perumpamaan terhadap seorang pengumpat, penuh dengan kebusukan, kebiadaban, kelicikan, naluri hewani, jauh dari nilai-nilai kodrati seorang manusia seutuhnya.

Imam al-Ghazali memahami pengertian ghibah ini tidak hanya pengungkapan aib seseorang yang dilakukan secara lisan, tetapi juga termasuk pengungkapan dengan melalui perbuatan, misalnya dengan isyarat tangan, isyarat mata, tulisan, gerakan dan seluruh yang dapat dipahami maksud-nya. Aib seseorang yang diungkapkan itu meliputi berbagai hal, seperti kekurangan pada badannya, pada keturunannya, pada akhlaknya, pada pebuatannya, pada ucapannya, pada agamanya, termasuk pada pakaian, tempat tinggal dan kendaraannya. Demikian banyak hal yang dapat menjadi obyek pengungkapan tentang kekurangan diri seseorang, sehingga seorang Islam, sadar atau tidak sadar memungkinkan dirinya sangat mudah terjerumus dalam hal ghībah, bila tidak berhati-hati dan tidak pula mewaspadainya. Sungguh tiada suatu kemanfaatan dari menggunjing orang lain, ketika itu suatu kebenaran maka ia adalah ghibah, dan ketika itu kebohongan maka itu adalah fitnah.

Coba kau perhatikan sekelilingmu, sepertinya perbuatan menjijikan ini semakin mudah ditemukan, tak terkecuali di tempat-tempat peribadatan pun jadi tempat yang nyaman untuk melakukannya. Kaya – muda, sehat – sakit, senang – bahagia, pria – wanita, terpelajar – tidak terpelajar secara sadar telah banyak melakukannya (ghibah). Bahkan mungkin aku sendiri telah melakukannya ribuan kali, ohh sungguh memalukan. Bolehlah dulu Indonesia gempar dengan temuan manusia pemakan bangkai demi mengembangkan ilmu hitamnya, kini kusadari bahwa perbuatan yang sama menjijikannya itu telah juga sering dilakukan demi kepentingan politik, kekuasaan, wanita, martabat dan hal lainnya. Meskipun secara harfiah itu berbeda, akan tetapi secara derajatnya sama saja: menjijikan.

Dari mengumpat, dapat juga menghasilkan sebuah fitnah. Sekilas, tak kufahami mengapa dalam al-Baqarah 191 dikatakan bahwa fitnah lebih besar bahayanya dari pembunuhan. Apakah dengan memfitnah orang yang difitnah akan terbunuh secara ragawi?. Sungguh perumpamaan yang indah namun tak juga menghilangkan kerutan di keningku. Seiring dengan pengalaman dan pengetahuan yang kudapatkan dari kehidupan ini. Baru kufahami secara seksama, mengapa fitnah dapat disejajarkan atau bahkan lebih membahayakan daripada pembunuhan. Jikalau aku membunuh, maka seseorang yang kubunuh akan mati dan tak tersisa hilang di telan bumi. Akan tetapi dengan memfitnah, aku membunuh seseorang dan tetap membiarkannya hidup. Perlu kutekankan lagi, membiarkannya hidup dalam kematian. Bahkan hewan ganaspun takkan mampu melakukannya. Sungguh siapa sebenarnya wahai kau manusia?

Uhh, bentuk apalagi fitnah ini setelah ghibah? Jikalau derajat ghibah adalah sama dengan memakan bangkai saudaranya sendiri, maka fitnah justru membiarkan seseorang mati dalam keadaan hidup. Dapat kutemui bentuk fitnah ini, banyak darinya merupakan sebuah bentuk pembunuhan karakter atas seseorang, baik dari segi sosial maupun ekonomi. Dengan terkena fitnah, maka harus kukatakan ketidaksefahaman pernyataan Doni Dirgantoro dalam 5 cm nya, “manusia bukan hanya sekedar seonggok daging yang bisa berjalan dan punya nama”. Kukira dampak dari fitnah adalah justru menjadikan seseorang itu hanya sekedar seonggok daging yang bisa berjalan dan punya nama, tidak ada jiwa, passion dan cita-cita, semuanya luluh lantah karena fitnah. Fitnah yang telah membunuh karakter hidup seorang manusia. Ya, sekali lagi aku faham dengan konsep fitnah yang diterangkan dalam al-Qur’an.

Sebagai seorang terpelajar, perlu ku patri dalam jiwa dari pernyataan Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia nya, “seorang terpelajar harus mampu berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, terlebih dalam perbuatan”. Sehingga menghindari (tidak melakukan) ghibah dan fitnah merupakan bentuk dari perwujudan manusia seutuhnya, beradab, terpelajar dan berkemajuan.

Yogyakarta 30 Oktober 2013 M 


2 komentar:

  1. Luar biasa wan, lanjutkan menulis. Urang resep lah tulisan maneh ;)
    Serasa maneh nu ngomong langsung
    #KabayangTMUKonro

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe.. Alhamdulillah atuh mun tulisan urang difahami mah. Nuju diajar keneh ki.. Hayu atuh buat komunitas..

      Hapus