Emas Ditangan, Sejahtera Tak Kunjung Datang
Sejak penandatanganan Kontrak Karya untuk waktu 30 tahun pada tahun 1967, PT Freeport Indonesia menjadi kontraktor eksklusif tambang Ertsberg di atas wilayah 10 km persegi. Ditinjau dari satu sisi, Indonesia memang beruntung mendapatkan investor asing untuk mengelola tambang Ertsberg di Irian Jaya itu. Mengingat Ertsberg terdiri dari 40-50 persen oksida besi dalam bentuk mineral magnetit; 3,5% tembaga dalam bentuk mineral kalkopirit dan bornit (keduanya sulfida besi dan tembaga). Dengan demikian, Ertsberg merupakan deposit tembaga terkaya yang pernah ditemukan di atas permukaan tanah . Analisis laboratorium memastikan perkiraan ekspedisi bahwa terdapat kandungan tembaga sebesar “13 acres”, suatu kode yang dibuat oleh Wilson untuk menyatakan 13 juta ton bijih. Jauh lebih ke dalam tanah, diperkirakan terdapat 14 juta ton bijih untuk setiap kedalaman 100 meter. Jumlah keseluruhan diperkirakan mencapai 50 juta ton bijih.
Pada awalnya wilayah tambang ini hanya untuk memproduksi tembaga, dan pada tahun 1973 peluncuran proyek Ertsberg mulai diluncurkan dan lokasi tersebut dinamakan Tembagapura. Hal ini dikarenakan pada awalnya pada proyek ini, memang hanya akan menambang tembaganya saja. Akan tetapi setelah waktu kian bergulir, proyek Ertsberg ini juga ternyata menghasilkan emas. Emas yang pada mulanya “dianggap” hanyalah by product , akhirnya menjadi produk utama proyek ini, karena emas lebih menghasilkan keuntungan daripada sekedar tembaga. Akan tetapi karena pada saat itu PT Freeport Indonesia belum menjalankan prinsip good corporate governance (mungkin hingga saat ini) , hasil temuan yang menguntungkan ini hanya diketahui oleh pihak-pihak dalam PT Freeport Indonesia saja. Nampaknya meskipun PT Freeport Indonesia belum menjalankan prinsip good corporate governance akan tetapi Freeport sudah menjalankan satu prinsip lainnya, yaitu greed corporate governance.
Melihat keadaan tersebut, sepertinya telah terjadi ketidakadilan antara pihak Freeport dengan Pemerintah Indonesia. Terlebih, jika kita melihat kedalam pembagian hasil dari proyek tambang ini. Indonesia hanya mendapatkan royalti sebesar 1% saja dari keuntungan pertambangan ini, sedangkan PT Freeport Indonesia mendapatkan 99%. Hal ini didasari dengan Kontrak karya yang dibuat pada masa kolonial Belanda dulu, yang mematok bahwasannya Indonesia hanya akan mendapatkan royalti sebesar 1% dari keuntungan proyek ini. Pada waktu itu, Indonesia memang sudah sangat terdesak dengan keadaan. Alih-alih ingin mendapatkan investor asing, maka segala syarat yang sebenarnya merugikan Indonesiapun tetap diterima dan disetujui Pemerintah pada saat itu.
Seharusnya saat ini, Indonesia (baca:Pemerintah) sudah harus bertindak melihat ketidakadilan ini. Seharusnya Indonesia sudah tidak lagi mengunci mati keuntungan yang didapat itu, tetapi sudah harus mengukuti harga emas. Mengingat harga emas dunia saat ini sedang mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Dengan kata lain, sudah harus ada negosiasi ulang antara Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia.
Lebih jauh, selain seluruh masyarakat Indonesia yang merasa dirugikan oleh kesewenang-wenangan PT Freeport Indonesia ini, pekerja yang berhadapan langsung dengan PTFI pun turut menjadi korbannya. Menurut keterangan yang diberikan oleh Serikat Pekerja Seluruh Indonesia PT Freeport Indonesia, pekerja PTFI hanya diberi upah sekitar 2,1 dolar/jam. Ini sangat memprihatinkan, mengingat keuntungan PTFI sehari dapat mencapai 200-230 miliar/hari. Jika dibandingkan dengan pekerja Freeport yang ada di Amerika Utara, maka pekerja disana mendapatkan upah sekitar 30 dolar/jam. Melihat situasi ini, nampaknya pekerja PTFI adalah pekerja yang paling rendah pendapatannya dibanding dengan pekerja Freeport yang ada di Cile, Peru, dan Amerika Utara. Maka dari itu, wajar apabila saat ini pekerja PTFI melakukan mogok kerja hingga tanggal 15 Oktober 2011.
Sebenarnya mogok kerja yang dilakukan para pekerja ini sangat beralasan dan memang sudah seharusnya pihak Freeport sendiri bisa mengabulkan tuntutan para pekerjanya itu. Tapi apa yang terjadi. Ketika para pekerja itu ingin mengaspirasikan keinginan mereka, nampaknya moncong senjatalah yang harus mereka hadapi di lapangan, sehingga tak heran ada korban yang berjatuhan dari peristiwa “negosiasi” tersebut.
Bukanlah penyetaraan upah dengan para pekerja Freeeport diluar negeri yang diharapkan oleh para pekerja ini. Akan tetapi mereka menginginkan adanya penyesuaian antara, produktivitas mereka dalam bekerja, potensi mereka, dan kontribusi yang besar bagi kelangsungan PTFI dengan upah yang mereka terima.
Sepertinya lagi-lagi PTFI sudah melanggar ketentuan UU No 13 Th. 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yang mengharuskan adanya kesejahteraan dalam pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia. Jika dikaji lebih dalam, dengan adanya PTFI ini dengan segala kebijakan yang dibuatnya, nampaknya perusahaan ini juga telah melanggar Konstitusi kita, yang mengharuskan segala kekayaan alam yang ada di Bumi Indonesia diatur dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.
Melihat itu semua, seharusnya Pemerintah sudah harus bisa mengambil sikap terhadap PTFI ini. Dengan segala bentuk ketidakadilan ini secara tidak langsung sudah mencoreng kedaulatan Indonesia. Pemerintah harus turut serta melakukan negosiasi ulang kepada PTFI guna mendukung aspirasi dari para pekerjanya. Karena para pekerja PTFI itu adalah warga negara Indonesia, dan mutlak menjadi kewajiban Pemerintah untuk dapat melindungi warganya sendiri sehingga para pekerja PTFI tidak lagi menjadi korban ketika mereka berupaya mengaspirasikan keinginan mereka dalam peningkatan kesejahteraan.
Sesungguhnya bisnis yang tidak menjadikan suatu amal dan menjadikan suatu ilmu, serta memutus silaturrahmi akan tetapi menghasilkan uang, sesungguhnya itu adalah suatu bencana. Jadi, harus ada negosiasi ulang antara Pemerintah, Pekerja, dan PT Freeport Indonesia, agar segala bentuk kedzaliman ini dapat dihentikan. Dengan kata lain, masyarakat Indonesialah yang pantas mendapatkan keuntungan dari proyek tambang emas ini, bukan pengusaha, bukan pula istana (baca: pemerintah).
ayo kang...nulis lagi... :D
BalasHapus