Mendidik Manusia untuk Menjadi Manusia




Indra  mendapatkan nilai 5 dalam ujian bahasa Indonesia, dengan gugup ia mencoba melapor kepada ibunya. “Bunda, tadi aku ujian bahasa Indonesia dan nilainya 5”. Kontan saja sang ibu langsung menghujani anaknya dengan amarah yang luar biasa “Gimana sih kamu ini? Bunda kan udah ajarin semua, masih aja ga ngerti”. Sang ibu berpendapat bahwa kalau hanya sekedar bahasa Indonesia saja anaknya mendapat nilai 5, bagaimana dengan nilai ujian lainnya?. Bagaimana ia akan sukses di kemudian hari kalau nilai bahasa Indonesia saja hanya dapat nilai 5. Setelah mendapat perlakuan seperti itu, Indra kemudian menangis dan menyadari bahwa dirinya memang bodoh, tidak berguna dan tidak akan sukses dikemudian hari.

Pernahkah mendengar atau bahkan mengalami peristiwa seperti diatas? Sepertinya hal ini memang sangat mudah ditemui di masyarakat Indonesia, dimana ukuran kecerdasan seseorang hanya dinilai dari satu penilaian saja, tes formal. Sungguh sangat tidak adil bagi mereka yang dicap bodoh oleh teman, guru, bahkan keluarganya sendiri dikarenakan ketidakmampuan seseorang akan nilai yang maksimal suatu pelajaran. Sebenarnya, siapa yang patut disalahkan dalam kondisi seperti ini?

Masih kuingat pernyataan dari salah seorang guru dulu, pada hakikatnya tidak ada seseorang yang bodoh di dunia ini, yang membedakan hanya orang yang mau berusaha lebih dan tidak. Predikat pintar di mata masyarakat umum diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam mengerjakan apa yang diperintahkan. Orang pintar selalu melakukan segala sesuatunya dengan baik dan mampu mencerna apapun dengan sempurna. Sehingga dapat disimpulkan bahwa orang yang belum dapat melakukan sesuatu dengan baik dan sempurna bukanlah orang bodoh, hanya saja orang yang belum pintar. Karena pintar itu bisa “dicari”, misalkan sekarang tidak pintar, tetapi jika selalu disiplin mengejar cita-cita dan mau bekerja keras, maka ia akan menjadi orang pintar. 

Pernahkah kita menanyakan kepada seorang anak yang menggemaskan, dimana dari sorot matanya masih tersimpan keceriaan akan kehidupan yang akan dilaluinya. “ihh,, lucunya dek Ridwan ini, anak siapaa?”dengan nada dan intonasi yang tidak ingin kalah lucu dengan anak tersebut. “Anak Pak Kalto (Karto)”jawab sang anak dengan lidah cadelnya. Mendapati jawaban tersebut kurang lebih orang yang bertanya akan merespon dengan “waahh,, pinter ya dek Ridwan” masih dengan intonasi yang dibuat seimut mungkin dan bahkan mimik wajah yang dibuat manis. 

Di sisi lain apakah pernah juga mendapati seorang anak yang belum bisa menjawab pertanyaan sama seperti diatas? Lantas, bodohkah anak itu, suramkah masa depannya? Tentu saja jawabannya TIDAK. Karena bisa jadi ia belum mendapatkan pengetahuan itu dari orang tuanya, atau bahkan anak itu belum terbiasa ditanya hal yang seperti itu. Sehingga kuulangi lagi bahwa pintar itu identik dengan mengetahui, sekali dia mengetahui maka ia akan dianggap pintar, akan tetapi orang yang belum mengetahui tidak tepat juga untuk dikatakan bodoh. Karena semuanya didasarkan tahu dan belum tahu saja.

Hal ini sejalan dengan ilustrasi peristiwa diatas (Indra), dimana sebenarnya anak tersebut bukanlah bodoh karena hanya mendapatkan nilai 5 pada ujiannya. Akan tetapi karena memang anak tersebut belum maksimal dalam belajarnya maka ia sulit memahami soal-soal yang diberikan oleh gurunya, meskipun ibunya sendiri menganggap bahwa pelajaran bahasa Indonesia merupakan pelajaran yang tidak terlalu sulit untuk difahami. Terdapat dua kemungkinan dari peristiwa ini, yang pertama mungkin Indra belum maksimal dalam belajarnya, dan yang kedua selama proses belajar ia tidak menemukan cara terbaik untuk dapat memahami bahasa Indonesia dengan mudah. 

Dalam buku “Sekolahnya Manusia” karya Munif Chatib diterangkan bahwa kecerdasan seseorang tidak mungkin dibatasi oleh indikator-indikator yang ada dalam achievement test (tes formal). Sebab setelah diteliti, ternyata kecerdasan seseorang itu selalu berkembang (dinamis), tidak statis. Tes yang dilakukan untuk menilai kecerdasan seseorang, praktis hanya menilai kecerdasan pada saat itu, tidak untuk satu bulan lagi, apalagi sepuluh tahun lagi. Bahkan, menurut Gardner kecerdasan dapat dilihat dari kebiasaan seseorang. Sedangkan menurut Munif, sumber kecerdasan seseorang adalah kebiasaannya untuk membuat produk-produk baru yang punya nilai budaya (kreativitas) dan kebiasaannya menyelesaikan masalah secara mandiri (problem solving).

Untuk menjadi pintar cukuplah dengan mengetahui segala apa yang dipertanyakan, maka dari itu pengetahuan identik dengan kepintaran. Karena pengetahuan adalah ingatan tentang materi atau bahan yang sudah dipelajari (diingat). Seorang hakim tentunya pintar (tahu) akan hal-hal yang berbau hukum, seorang apoteker tentunya pintar (tahu) akan hal-hal yang berkaitan dengan obat-obatan, begitu pula dengan seorang tukang tambal ban tentunya ia pintar (tahu) akan dunia pertambalan dan bahkan seorang koki pun akan sangat pintar (tahu) akan dunia masakan atau resep.

Berangkat dari pemikiran itu, ikut mengamini pernyataan Munif bahwa kecerdasan manusia tidak dibatasi oleh tes formal saja karena pada dasarnya kecerdasan itu multidimensi bahkan berkembang. Sehingga sekali lagi kukatakan untuk menilai kecerdasan seseorang tidaklah adil jika hanya memakai satu ukuran saja (aspek kognitif).

Mengutip pernyataan Buya Hamka, seorang intelektual muslim Indonesia yang banyak menghasilkan buah pemikiran untuk Indonesia, mengatakan bahwa“Anak adalah zaman untuk yang akan datang, bukan hanya untuk zaman kita. Salahlah orangtua yang hendak mendidik anaknya seperti di zaman mereka juga”. Sehingga salahlah kita yang pada saat ini masih juga memberikan penilaian dan pengajaran terhadap anak seperti apa yang pernah dialami orang-orang tua dahulu. Katakan saja itu dosa masa lalu yang harus diubah dalam tempo waktu yang sesingkat-singkatnya dalam rangka mendidik manusia untuk menjadi manusia seutuhnya.
Salam Pelajar Indonesia!

Wallahualam bissowab
Yogyakarta, 18 Nopember 2013M

0 komentar: